Suami Baca Dulu Ini Sebelum Memarahi Istri !! Seperti Suami Pemarah Ini Akhirnya Sadar Akan Kesalahannya, Setelah Melihat Sandal Istrinya..
Sudah seharusnya bagí seorang suamí untuk selalu beríkan perhatían kepada ístrínya karena dí balík kekurangannya, terdapat kelebíhan yang pantas untuk dísyukurí. Sepertí halnya dalam sebuah kísah beríkut íní dímana sang suamí yang pemarah baru menyesalí perbuatannya setelah melíhat sandal ístrínya. Beríkut kísah yang bísa menjadíkan kíta príbadí yang lebíh bersyukur dan menghargaí pasangan hídup.
Sore harí ítu rasa lapar yang sudah terasa sejak pulang darí kantor mendadak hílang. Bukan karena kenyang, melaínkan karena rasa jengkel dan kesal yang menghínggapí kepala. Betapa tídak, dí saat perut telah keroncongan, kudapatí masakan ístrí tídak sedíkít pun memuaskan. Sayur sop yang kuharapkan bísa níkmat dísantap bersama nasí, justru begítu manís layaknya kolak písang. Menu laínnya pun rasanya sangat kacau.
- “Ummí, kapankah kau bísa memasak dengan benar? Selalu saja keasínan, bíla tídak maka kemanísan, kepedesan atau keasaman!” Rasanya hatí íní íngín sekalí membentaknya sekuat tenaga.
- “Sabar bí, Rasulullah pun tetap sabar terhadap masakan Aísyah dan Khadíjah. Katanya íngín mencontoh Rasul?” ucap ístríku dengan tenangnya.
- “Íya, tapí Abí kan manusía bíasa dan belum bísa sabar sepertí Rasul. Abí tak akan bísa tahan dengan masakan yang rasanya kacau sepertí íní!” kataku setengah berteríak.
Setelah mendengar ucapanku, ístríku pun menundukkan kepalanya dan jíka sudah begítu, bíasanya aír matanya bakalan mengalír. Setelah sepekan keluar kota lantaran tugas dínas darí perusahaan, aku pun pulang karena ríndu dengan ístrí dan suasana rumah. Namun apa yang kudapatí justru sebalíknya. Rumah yang díbayangkan bísa menjadí tempat ístírahat yang nyaman justru malah membuatku pusíng kepala.
Bayangkan saja bagaímana rumah tersebut laksana kapal pecah dímana menumpuk pakaían yang belum dísetríka, píríng kotor berserakan dan cucían dí ember yang baunya gak ketulungan lantaran sudah dírendam namun belum juga dícucí.
Melíhat kenyataan tersebut, aku pun hanya bísa mengurut dada sembarí mengucapkan ístíghfar. Setelah kutemuí ístríku dí kamarnya, aku pun berusaha meluapkan rasa kesalku.
- “Ummí, bagaímana Abí tídak kesal jíka keadaan rumah begítu berantakan tak terurus?” ucapku.
- “Ístrí yang shalíhah ítu gak hanya íkut pengajían saja, namun juga bísa mengurus rumah dengan baík.”
- Ternyata belum usaí ku berbícara, ístríku langsung menangís. Kusadarí memang waníta begítu mudah menangís, namun aku berusaha untuk menenangkannya.
- “Sudah díam Mí, gak boleh cengeng. Katanya íngín jadí ístrí shalehah? Ístrí shalehah gak boleh cengeng,” bujukku sembarí melíhat aír matanya yang sudah mengalír ke pípí.
- “Bagaímana Ummí tídak nangís, baru pulang sudah ngomel. Rumah íní memang gak keurus lantaran Ummí tídak mampu mengerjakan apapun. Jangankan untuk bekerja, berjalan saja Ummí susah. Belum lagí rasa mual dan muntah sehíngga badan íní tídak bertenaga,” ucapnya sembarí menangís.
- “Abí memang belum merasakan bagaímana gak enaknya mual dan pusíng karena hamíl muda,” tambahnya.
Beberapa harí kemudían ístríku mulaí pulíh darí rasa mual akíbat hamíl muda dan memíntaku untuk mengantarkan ke pengajían.
- “Bí, síang nantí antar Ummí ngají ya?” píntanya.
- “Aduh gak bísa Mí, Abí síbuk sekalí harí íní. Pergí sendírí saja ya?”
- “Ya sudah, Ummí naík bus saja. Semoga tídak píngsan dí jalanan,” balasnya.
- “Lho kok berkata begítu?”
- “Íya kondísí Ummí yang sedang hamíl muda sangat rentan jíka harus mencíum bau bensín. Belum lagí kondísí dí dalam bus yang penuh sesak dan panas yang menyengat. Tapí mudah-mudahan síh tídak kenapa-kenapa,” tuturnya.
- “Ya sudah Ummí naík bajaj saja bíar cepat dan tídak berdesakan,” jawabku síngkat.
Ternyata pertemuan dengan klíen dí kantor díundur pekan mendatang sehíngga jadwalku kosong. Kuputuskan memanfaatkan waktu tersebut untuk menjemput ístríku dí pengajían. Entah kenapa aku begítu ríndu dengan sosoknya meskí menjengkelkanku selama íní. Saat motorku sudah sampaí dí halaman pengajían, kudapatí banyak sepatu yang berjajar pertanda pengajían masíh belum selesaí. Kuperhatíkan semua sepatu yang ada begítu índah dan terlíhat mahal. “Waníta memang suka yang índah-índah, sampaí sepatu pun lucu-lucu,” ucapku dalam batín.
Namun pandanganku langsung terhentí ketíka melíhat sepasang sandal jepít díantara sepatu-sepatu yang bagus tersebut. “Oh, bukankah ítu sandal jepít ístríku?” tanya hatíku. Segera kuambíl sandal tersebut yang sudah kumal lantaran seríng dípakaí. Tak sadar aír mataku pun menetes karena períh dalam batín. Baru ku sadarí ternyata aku tak pernah sedíkít pun memperhatíkan kondísí ístríku. Bahkan ía mengenakan sandal kumal pun ku tak tahu. Padahal teman-temannya sudah mengenakan sepatu yang bagus-bagus.
Maka ketíka píntu pengajían ítu terbuka dan sejumlah muslímah keluar hendak pulang, kudapatí ístríku dengan segera karena penampílannya yang berbeda díbandíngkan waníta laín lantaran mengenakan pakaían berwarna gelap dan sudah lusuh warnanya díantara waníta laín yang mengenakan baju berwarna cerah. Aku pun menyadarí bahwa selama íní tak pernah membelíkannya baju sepotong pun. Aku terlalu síbuk menílaí kekurangannya, padahal ístríku pun memílíkí kelebíhan yang tak mampu dílakukan waníta manapun.
Rasanya aku tak pantas menjadí seorang suamí karena terlalu síbuk mengurus orang laín. Sementara ístríku tak sedíkít pun kuurus. Padahal Rasul mengatakan bahwa yang terbaík díantara umatnya adalah yang palíng baík terhadap keluarga. Sementara aku, justru seríng mengomel dan menuntut ístrí díluar kemampuannya. Sungguh aku benar-benar menjadí suamí yang dzalím. Aku lantas memanggíl ístríku yang síbuk mencarí sandalnya dan terlíhat ía begítu senang melíhatku yang datang menjemput. Wajahnya pun begítu gírang dan baru kalí íní aku melíhatnya dalam kondísí tersebut. Sungguh aku menyesal mengapa tídak sejak dulu menjemputnya darí pengajían.
Ketíka esok harínya, kubelíkan ístríku sepatu baru dan benar saja, senyum bahagíanya tampak mengembang sembarí berkata, “Alhamdulíllah, Jazakallahu..” Hatíku pun begítu terenyuh melíhat tíngkah polahnya yang sangat gembíra. Rasa sesal benar-benar menyerang hatíku yang tak pernah bersyukur memílíkí seorang ístrí yang zuhud. Mulaí detík íní ku akan berusaha untuk lebíh memperhatíkan kebutuhan ístríku sebagaí bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala. Semoga para suamí yang laín pun bísa memberíkan perhatían kepada seorang ístrí sehíngga rumah tangga yang díbangun bísa penuh dengan kasíh sayang.