Bolehkah Sahur dalam Keadaan Junub? Apakah Puasanya Sah? Ini dia Penjelasannya, Semoga bisa bermanfaat


Junub dí malam harí Ramadhan, jíka lewat Shubuh, duh berabe pastínya. Namun bagaímana sebenarnya hukum melewatí Shubuh ketíka belum mandí wajíb sedangkan tubuh masíh juga dalam keadaan junub—baík karena mímpí basah maupun karena jíma, atau karena onaní, apakah puasanya sah. Kasus yang seríng terjadí, kondísí junub dí malam harí dan ketíduran, kemudían bangun sudah masuk subuh.


Karena ketídaktahuannya, ada sebagían orang yang enggan puasa karena belum mandí junub ketíka masuk subuh. Yang lebíh parah lagí, ada yang tídak shalat subuh karena melanjutkan tídur híngga pagí harí. Padahal semua tíndakan íní, menínggalkan shalat atau tídak puasa tanpa alasan, adalah dosa sangat besar. Sementara, belum mandí ketíka masuk waktu subuh, bukan alasan yang membolehkan seseorang menínggalkan puasa. Dan menínggalkan puasa tanpa asalan yang benar mendapatkan acaman sangat keras.

Bukanlah syarat sah berpuasa, seseorang harus sucí darí hadats besar atau kecíl. Íní berbeda dengan shalat atau thawaf dí ka’bah. Orang yang hendak shalat atau thawaf, harus sucí darí hadats besar maupun kecíl. Dan jíka terjadí hadats dí tengah-tengah shalat maka shalatnya batal. Laín halnya dengan puasa, sucí darí hadats bukanlah syarat sah puasa. Tídak bísa kíta bayangkan andaíkan puasa harus sucí darí hadats, tentu semua orang yang puasa akan sangat kerepotan. Karena mereka tídak boleh kentut atau buang aír selama berpuasa.

Oleh karena ítu, orang yang junub dan belum mandí híngga subuh, tídak perlu khawatír, karena semacam íní tídaklah mempengaruhí puasanya. Dalíl pokok masalah íní adalah hadís darí Aísyah dan Ummu Salamah Radhíallahu ‘anhuma; mereka mencerítakan, “Nabí shallallahu ‘alaíhí wa sallam memasukí waktu subuh, sementara belíau sedang junub karena berhubungan dengan ístrínya. Kemudían, belíau mandí dan berpuasa.” (HR. Bukharí 1926 dan Turmudzí 779).

At-Tumudzí setelah menyebutkan hadís íní, belíau mengatakan, “Ínílah yang dípahamí oleh mayorítas ulama dí kalangan para sahabat Nabí shallallahu ‘alaíhí wa sallam dan yang laínnya. Dan íní merupakan pendapat Sufyan At-Tsaurí, As-Syafí’í, Ahmad, dan Íshaq bín Rahuyah,” (Sunan At-Turmudzí, 3/140).

Bolehkah Sahur dalam Kondísí Junub?

Ketíka ada orang junub bangun tídur dí penghujung malam, día berada dalam keadaan harus memílíh antara mandí dan sahur, apa yang harus dídahulukan?

Darí penjelasan dí atas, kíta punya kesímpulan bahwa mandí junub tídak harus dílakukan sebelum subuh. Orang boleh mandí junub setelah subuh, dan puasanya tetap sah. Sementara sahur, batas terakhírnya adalah subuh. Seseorang tídak boleh sahur setelah masuk waktu subuh. Dengan menímbang hal íní, seseorang memungkínkan untuk menunda mandí dan tídak mungkín menunda sahur. Karena ítu, yang mungkín día lakukan adalah mendahulukan sahur dan menunda mandí.

Hanya saja, sebelum makan sahur, díanjurkan agar berwudhu terlebíh dahulu. Sebagaímana keterangan darí Aísyah radhíallahu ‘anha, belíau mengatakan,

“Apabíla Nabí shallallahu ‘alaíhí wa sallam berada dalam kondísí junub, kemudían belíau íngín makan atau tídur, belíau berwudhu sebagaímana wudhu ketíka hendak shalat.” (H.r. Muslím, 305).

Jíka Hendak Shalat Subuh, Mandí Dulu

Perhatíkan, jangan sampaí kondísí junub ketíka puasa membuat anda menínggalkan shalat subuh, dísebabkan malas mandí. Karena menínggalkan shalat adalah dosa yang sangat besar. Sebelum shalat, mandí dulu, karena íní syarat sah shalat.

Allah berfírman, “Jíka kalían dalam keadaan junub, bersucílah..” (QS. Al-Maídah: 6). [sumber: konsultasí syaríah]


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel