Saphira Indah Meninggal Saat Hamil, Ini Pandangan Islam Tentang Wanita yang Mati Saat Hamil

Wafatnya artis Saphira Indah meninggalkan duka mendalam bagi keluarga hingga sahabat yang ditinggalkan.
Terlebih, Saphira Indah meninggal dunia dalam keadaan mengandung calon bayinya yang akan segera berusia 6 bulan.
Saphira Indah pun dikuburkan bersama jenazah bayi perempuan yang dikandungnya, Kamis (31/1/2019).


Di dalam Islam, kematian wanita saat tengah dalam keadaan mengandung memiliki keistimewaan tersendiri.
Salah satu keistimewaan menjadi seorang wanita adalah memiliki rahim yang memungkinkan untuk hamil dan melahirkan bayi.
Meski hamil terkadang menyulitkan, namun saat hamil wanita juga mendapat pahala atas perhatian yang diberikan dalam menjaga kandungan.
Dalam beberapa hadits dan ayat di al-Qur’an, wanita hamil sangat dimuliakan.
Wanita yang sedang hamil mendapat pahala lebih banyak daripada wanita yang tidak sedang hamil.
Allah SWT menjanjikan surga bagi wanita hamil yang meninggal dunia.
Rasulullah SAW bersabda, wanita yang meninggal dunia saat hamil, maupun meninggal ketika tengah melahirkan, baik juga wanita yang mati karena nifas, maka akan dijanjikan surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tahukah kalian, siapa orang yang mati syahid di kalangan umatku?” beliau menjawab, orang yang mati syahid di kalangan umatku cuma sedikit. Orang yang mati berjihad di jalan Allah, syahid, orang yang mati karena Tha’un, syahid. Orang yang mati tenggelam, syahid. Orang yang mati karena sakit perut, syahid. Dan wanita yang mati karena nifas, dia akan ditarik oleh anaknya menuju surga dengan tali pusarnya.” (HR. Ahmad : 15998)
Lalu bagaimana hukum menguburkan wanita yang meninggal saat hamil?
Dikutip TribunStyle.com dari syariahonline, dalam Islam tidak mengapa menguburkan anak di dalam kandungan ibu yang telah meninggal.
Namun, harus memastikan bahwa calon bayi juga turut meninggal dunia.
Sebab, mengeluarkan calon bayi yang sudah meninggal bisa merusak jenazah ibunya.
Di dalam Islam, dilarang untuk merusak jenazah tanpa keperluan yang haq. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah bersabda:
Mematahkan tulang seorang mayat, sama halnya dengan mematahkannya ketika dia masih hidup.” (HR. Abu Daud No. 3207, Ibnu Majah No. 1616, Ahmad No. 24783, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Para perawinya terpercaya dan merupakan perawi hadits shahih, kecuali Abdurrahman bin Ubay, yang merupakan perawi kitab-kitab sunan, dan dia shaduq (jujur).” Lihat Taliq Musnad Ahmad No. 24783)
Maka menyakitinya ketika sudah wafat adalah sama dengan menyakitinya ketika masih hidup, yaitu sama dalam dosanya. (Imam Abu Thayyib Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 9/18) karena mayit juga merasakan sakit.
Beda kasus jika si janin masih hidup, maka boleh membedahnya untuk menyelamatkan yang masih hidup, sebab maslahat yang hidup lebih utama didahulukan.
Berikut akan diuraikan mengenai Hukum Wanita Meninggal Saat Hamil menurut islam.
1. Abu Muhammad ibn Hazm R.A
Abu Muhammad ibn Hazm r.a berkata, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Muhalla (5/166):
Dan jika seorang perempuan yang sedang mengandung meninggal dunia, sementara bayi yang dikandungnya masih dalam keadaan hidup, bergerak dan usia kandungan itu telah melebihi enam bulan, maka bayi tersebut harus dikeluarkan dengan membedah perut wanita yang meninggal tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”. (QS. al-Mâ’idah: 32)
2. Syaikh Ahmad Syâkir R.A
Syaikh Ahmad Syâkir r.a mengatakan –ketika beliau mengomentari isi kitab al-Muhalla-:
Diwajibkan mengeluarkan anak yang masih hidup dari dalam perut ibunya yang telah meninggal dunia.
Adapun cara yang harus dilakukan untuk mengeluarkannya, maka hal ini adalah urusan para spesialis kandungan, seperti dokter kandungan atau para bidan.
3. Ibnu Qudâmah R.A
Dalam kitabnya al-Mughni (2/551), Ibnu Qudâmah r.a mengatakan:
Syarah masalah: (Apabila seorang wanita meninggal dunia, sementara didalam perutnya terdapat bayi yang masih hidup dan bergerak, maka tidak dibenarkan membedah perutnya, akan tetapi hal tersebut diserahkan kepada bidan untuk mengeluarkan bayi tersebut).
Ibnu Qudâmah r.a berkata: maksud perkataan Imam al-Kharqî r.a “diserahkan kepada bidan untuk mengeluarkannya” adalah: dengan cara memasukan tangan bidan melalui vagina lalu mengeluarkan bayi tersebut dari lobang tempat –bisanya- keluar bayi.
4. Mazhab Hambali
Dan pendapat yang berlaku menurut mazhab Hambali bahwa tidak dibolehkan membelah perut wanita yang telah meninggal dunia untuk mengeluarkan bayi yang dikandungkanya, baik wanita tersebut seorang muslimah maupun dzimmiyah (orang yang bukan beragama muslim dan tinggal diwilayah kekuasaan kaum muslimin), namun yang harus mengeluarkannya adalah bidan jika ia yakin –dengan tanda bergerak- bahwa bayi tersebut masih dalam keadaan hidup.
Dan apabila –disana- tidak ditemukan satu orang wanitapun, maka pengeluaran tersebut –dengan cara memasukan tangan melalui vagina- tidak boleh dilakukan oleh laki-laki, dengan terpaksa wanita yang meninggal itu dibiarkan –dengan kandungannya- sampai timbul keyakinan bahwa bayi yang ada dalam kandungan ibunya telah mati.
Setelah itu baru wanita tersebut dikuburkan. Pendapat seperti ini sangat dekat dengan pendapat yang diberlakukan pada Mazhab Malik dan Ishâk.
5. Mazhab Syafi’i
Sedangkan menurut mazhab Syâf’î, maka perut wanita tersebut harus dibedah jika besar kemungkinan bahwa janin yang ada dalam perut masih dalam keadaan hidup.
Sebab hal tersebut termasuk merusak sebagian dari anggota tubuh wanita yang telah meninggal untuk menyelamatkan orang yang masih hidup.
Maka –berdasarkan alasan ini- dibolehkan membedah perut ibunya.
Hal ini sama hukumnya, jika sebagian tubuh bayi tersebut telah keluar, namun tidak mungkin mengeluarkannya secara utuh kecuali dengan melakukan pembedahan.
Disamping itu apabila perut orang yang telah meninggal dunia boleh dibedah untuk mengeluarkan harta –misalnya uang atau mutiara- yang ia telan, maka apalagi membedahnya disebabkan untuk mengeluarkan manusia yang masih hidup.
6. Imam as-Syairâzî R.A
Imam as-Syairâzî r.a berkata ( al-Muhazzab 5/301 beserta kitab al-Majmû’):
Dan jika seorang wanita telah meninggal dunia, sementara dalam perutnya terdapat janin yang masih hidup, maka perutnya harus dibedah, sebab hal tersebut termasuk mempertahankan nyawa seseorang dengan merusak sebagian anggota tubuh orang yang telah meninggal, ini sama halnya dengan orang yang terpaksa –kelaparan- memakan sebagian anggota tubuh orang mati.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel