Dipaksa Poligami Sama Istri
Sudah beberapa hari istri saya merajuk dan bahkan setengah memaksa. Terus-menerus. Tak pernah berhenti. Sepanjang waktu. Siang-malam, pagi-sore; ia tak mengenal lelah untuk merajuk dan memaksa.
Rajukan dan paksaannya juga tak main-main. Sangat berat. Maha berat malah. Ia meminta saya untuk melakukan poligami! Menikah lagi! Dengan perempuan lain!
Saya tidak tahu apa alasan pasti sehingga istri saya meminta saya berpoligami. Bagi saya, istri saya adalah wanita yang mendekati sempurna. Ia adalah perpaduan antara Khadijah dan Aisyah, istri-istri Nabi agung Muhammad.
Di waktu-waktu tertentu, ia begitu mandiri, tabah, dan keibuan layaknya Khadijah. Di saat lain, istri saya mampu bertindak cerdas dan suka bermanja seperti halnya Aisyah. Jadi, buat apa saya berpoligami?
”Poligami bukan buat Mas, ”tegas istri saya. ”Tapi, poligami ini buat saya. Saya ingin masuk surga seperti wanita-wanita lain yang rela dan ikhlas dimadu. Apakah Mas tidak senang jika istrinya masuk surga?”
Saya kaget dengan ketegasan istri saya. Tapi, saya bukannya senang dengan sikap yang tegas itu. Saya justru takut, ketegasan itu akan membuat istri saya menyesal di kelak kemudian hari. Apalagi saya memang benar-benar tak ingin berpoligami!
”Dik, poligami itu bukan sesuatu yang mudah. Seorang pria yang berniat poligami harus memiliki sikap dan watak yang adil. Apakah aku akan mampu bersikap adil? Rasanya tidak! Coba kamu pikir dan rasakan, terhadap diri kamu dan anak-anak kita saja saya kerap gagal, apalagi terhadap orang lain nantinya.”
Saya mulai memberi nasihat kepadanya. Tentu dengan suara yang lembut. Sebab saya yakin ia pasti mau mendengarnya jika saya berbicara lembut.
”Selain adil, aku juga mesti punya pendapatan yang berlebih. Taruhlah, aku cukup kaya untuk membiayai kehidupan dua keluarga. Sebab bagaimana mungkin aku bisa berpoligami sementara pendapatanku cekak? Nah, ini yang aku tidak bisa berikan. Untuk membiayai kehidupan kamu dan anak-anak kita saja aku begitu kerepotan, bagaimana aku bisa membiayai kehidupan orang lain.”
Istri saya manggut-manggut. Saya senang ia mulai terpengaruh pikiran saya. Tapi, saya dibuat terperangah karena suara istri saya lain dengan sikapnya itu.
”Sejak kapan Mas berubah sikap menjadi seorang penakut? Apakah Islam telah mengajarkan Mas menjadi seorang penakut? Saya tidak pernah membayangkan Mas begitu ketakutan terhadap poligami.
Padahal, kenapa kita takut berpoligami? Apa sebenarnya yang membuat kita ngeri saat hendak melakukan poligami? Takut tidak dapat berbuat adil? Takut tak bisa menafkahi?”
”Dik, aku bukan takut. Tapi, aku rasional…”
”Benar! Mas, rasional. Tapi, rasional yang didasari oleh ketakutan. Kalau Mas bicara dan bertindak atas nama sesuatu, tetapi sudah didasari ketakutan dan kekhawatiran, selamanya Mas tak akan pernah bisa jujur terhadap diri sendiri.”
Saya tak mampu melawan kata-kata istri saya. Hari ini, saya berdebat dengan istri saya mengenai poligami. Tapi, posisi kami malah bertolak belakang. Saya bukan hendak minta izin berpoligami, melainkan saya justru dipaksa istri saya untuk berpoligami.
”Dik, kata ustadz , poligami itu dapat diibaratkan pintu darurat di pesawat terbang….”
”Pintu darurat yang seperti apa? Apa jenis pesawat terbangnya?” potong istri saya cepat. ”Setahu aku, Al Qur’an tidak pernah mengibaratkan poligami seperti pintu darurat pesawat terbang. Al Qur’an hanya bilang, kalau mampu bersikap adil, nikahlah dengan dua, tiga, atau empat. Kalau tak mampu cukup satu saja.”
”Itulah yang aku takutkan…”
”Nah, benarkan. Mas bicara poligami karena rasa takut dan khawatir. Akhirnya, Mas mengaku juga….”
Saya telah masuk ke dalam perangkap pikiran cerdas istri saya. Saya kini terdiam. Benar-benar terdiam. Seribu bahasa. Saya hanya menundukkan kepala pertanda menyerah.
”Mas, ”panggil istri saya dengan senyum dan mata yang menawan. ”Saya ingin Mas secepatnya berpoligami. Saya ikhlas. Benar-benar ikhlas. Bahkan kalau Mas tak bisa mencari wanita lain, saya bersedia mencarikannya.”
Saya menengadahkan kepala saya ke wajahnya. Istri saya tersenyum. Senyumnya begitu lembut. Saya membalasnya dengan pelukan hangat. Diam-diam hati saya berbunga-bunga. Gembira.
Membayangkan ada wanita lain yang -tentu saja- lebih muda, lebih cantik, lebih semlohai, lebih segalanya dibanding istri saya sekarang ini. Kegembiraan saya tak tertahankan….
”Mas! Bangun! Bangun, Mas! Mimpi apa sih? Kok senyum-senyum. Ketawa sendiri lagi. Ketemu pacar lama ya?”
Rajukan dan paksaannya juga tak main-main. Sangat berat. Maha berat malah. Ia meminta saya untuk melakukan poligami! Menikah lagi! Dengan perempuan lain!
Saya tidak tahu apa alasan pasti sehingga istri saya meminta saya berpoligami. Bagi saya, istri saya adalah wanita yang mendekati sempurna. Ia adalah perpaduan antara Khadijah dan Aisyah, istri-istri Nabi agung Muhammad.
Di waktu-waktu tertentu, ia begitu mandiri, tabah, dan keibuan layaknya Khadijah. Di saat lain, istri saya mampu bertindak cerdas dan suka bermanja seperti halnya Aisyah. Jadi, buat apa saya berpoligami?
”Poligami bukan buat Mas, ”tegas istri saya. ”Tapi, poligami ini buat saya. Saya ingin masuk surga seperti wanita-wanita lain yang rela dan ikhlas dimadu. Apakah Mas tidak senang jika istrinya masuk surga?”
Saya kaget dengan ketegasan istri saya. Tapi, saya bukannya senang dengan sikap yang tegas itu. Saya justru takut, ketegasan itu akan membuat istri saya menyesal di kelak kemudian hari. Apalagi saya memang benar-benar tak ingin berpoligami!
”Dik, poligami itu bukan sesuatu yang mudah. Seorang pria yang berniat poligami harus memiliki sikap dan watak yang adil. Apakah aku akan mampu bersikap adil? Rasanya tidak! Coba kamu pikir dan rasakan, terhadap diri kamu dan anak-anak kita saja saya kerap gagal, apalagi terhadap orang lain nantinya.”
Saya mulai memberi nasihat kepadanya. Tentu dengan suara yang lembut. Sebab saya yakin ia pasti mau mendengarnya jika saya berbicara lembut.
”Selain adil, aku juga mesti punya pendapatan yang berlebih. Taruhlah, aku cukup kaya untuk membiayai kehidupan dua keluarga. Sebab bagaimana mungkin aku bisa berpoligami sementara pendapatanku cekak? Nah, ini yang aku tidak bisa berikan. Untuk membiayai kehidupan kamu dan anak-anak kita saja aku begitu kerepotan, bagaimana aku bisa membiayai kehidupan orang lain.”
Istri saya manggut-manggut. Saya senang ia mulai terpengaruh pikiran saya. Tapi, saya dibuat terperangah karena suara istri saya lain dengan sikapnya itu.
”Sejak kapan Mas berubah sikap menjadi seorang penakut? Apakah Islam telah mengajarkan Mas menjadi seorang penakut? Saya tidak pernah membayangkan Mas begitu ketakutan terhadap poligami.
Padahal, kenapa kita takut berpoligami? Apa sebenarnya yang membuat kita ngeri saat hendak melakukan poligami? Takut tidak dapat berbuat adil? Takut tak bisa menafkahi?”
”Dik, aku bukan takut. Tapi, aku rasional…”
”Benar! Mas, rasional. Tapi, rasional yang didasari oleh ketakutan. Kalau Mas bicara dan bertindak atas nama sesuatu, tetapi sudah didasari ketakutan dan kekhawatiran, selamanya Mas tak akan pernah bisa jujur terhadap diri sendiri.”
Saya tak mampu melawan kata-kata istri saya. Hari ini, saya berdebat dengan istri saya mengenai poligami. Tapi, posisi kami malah bertolak belakang. Saya bukan hendak minta izin berpoligami, melainkan saya justru dipaksa istri saya untuk berpoligami.
”Dik, kata ustadz , poligami itu dapat diibaratkan pintu darurat di pesawat terbang….”
”Pintu darurat yang seperti apa? Apa jenis pesawat terbangnya?” potong istri saya cepat. ”Setahu aku, Al Qur’an tidak pernah mengibaratkan poligami seperti pintu darurat pesawat terbang. Al Qur’an hanya bilang, kalau mampu bersikap adil, nikahlah dengan dua, tiga, atau empat. Kalau tak mampu cukup satu saja.”
”Itulah yang aku takutkan…”
”Nah, benarkan. Mas bicara poligami karena rasa takut dan khawatir. Akhirnya, Mas mengaku juga….”
Saya telah masuk ke dalam perangkap pikiran cerdas istri saya. Saya kini terdiam. Benar-benar terdiam. Seribu bahasa. Saya hanya menundukkan kepala pertanda menyerah.
”Mas, ”panggil istri saya dengan senyum dan mata yang menawan. ”Saya ingin Mas secepatnya berpoligami. Saya ikhlas. Benar-benar ikhlas. Bahkan kalau Mas tak bisa mencari wanita lain, saya bersedia mencarikannya.”
Saya menengadahkan kepala saya ke wajahnya. Istri saya tersenyum. Senyumnya begitu lembut. Saya membalasnya dengan pelukan hangat. Diam-diam hati saya berbunga-bunga. Gembira.
Membayangkan ada wanita lain yang -tentu saja- lebih muda, lebih cantik, lebih semlohai, lebih segalanya dibanding istri saya sekarang ini. Kegembiraan saya tak tertahankan….
”Mas! Bangun! Bangun, Mas! Mimpi apa sih? Kok senyum-senyum. Ketawa sendiri lagi. Ketemu pacar lama ya?”